“Belajarlah pada alam karena alam adalah guru yang tidak pernah berdusta” Ungkapan ini mengandung makna yang begitu dalam karena memang sejatinya alam tidak hanya menjadi tempat berlindung manusia, tetapi juga sebagai tempat belajar. Artinya selain bisa menjadi rumah untuk berlindung, sahabat untuk memenuhi kebutuhan, alam juga bisa menjadi guru bagi manusia yang berfikir.
Alam beserta seluruh bagiannya seperti air, udara, tanah, binatang dan tumbuhan adalah suatu anugerah besar dari sang pencipta untuk melengkapi kehidupan manusia, dari itu wajib hukumnya bagi setiap manusia untuk senantiasa bersyukur. Selain menjaga kelestarian alam dengan tidak merusak setiap ekosistem di dalamnya, rasa syukur manusia bisa dalam bentuk berfikir, merenungkan, dan menganalisa setiap detail makhluk yang ada di alam. Melalui perenungan inilah manusia akan mengambil pelajaran untuk kelangsungan hidupnya dan akan menjadikannya manusia yang lebih bijak.
Alam selalu menawarkan hal terbaik bagi manusia, hanya saja terkadang manusia apatis terhadap alam, terutama pada zaman modern ini. Manusia cenderung sibuk dengan urusan duniawinya, hingga tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar ‘menyapa’ alam yang sejak lahir sudah menyediakan segala keperluan manusia. Padahal jika manusia mau sedikit saja menyisakan waktunya untuk ‘menyapa’ alam melalui pikirannya, maka alam akan memberikan ilmu yang tidak bisa didapatkan di bangku sekolah atau bangku kuliah, hal inilah yang kemudian disebut dengan filosofi alam.
Setiap detail dari alam selalu memiliki nilai filosofis, namun nilai-nilai ini tidak akan pernah didapat oleh manusia yang malas untuk berfikir, karena setiap nilai filosofis suatu makhluk hanya bisa didapat melalui jalan perenungan.
Seperti halnya ketika hujan turun, banyak di antara manusia yang bersumpah-serapah karena merasa hujan telah mengganggu atau bahkan merusak segala rencana aktivitasnya. Padahal hujan datang dengan segala keberkahanNya untuk memenuhi kebutuhan manusia, tidak hanya itu hujan datang untuk memberi pelajaran bagi manusia yang berfikir.
Jika kita renungkan lebih dalam lagi, setiap hujan turun, sejatinya hujan tidak pernah tau akan jatuh di mana. Apakah rintiknya akan jatuh di atas tanah yang gersang, di atas dedaunan yang hijau, di atas bunga-bunga yang mekar, di atas ranting yang kering, atau bahkan di atas danau yang tiada beriak? Hujan menjatuhkan dirinya begitu saja, menerima segala perintah tuhan, namun di manapun hujan jatuh, ia akan memberikan hal terbaik bagi sekelilingnya.
Begitu juga dengan manusia, sejatinya tidak pernah tahu dan tidak pernah meminta untuk lahir dari orang tua yang bagaimana, apakah dari orang tua yang kaya atau miskin, baik atau buruk, dan berpendidikan atau tidak. Dari itu jika manusia mau mengambil pelajaran dari jatuhnya air hujan, manusia tidak boleh mengeluh apalagi menyesali dari siapa ia dilahirkan karena tidak ada satupun manusia yang dilahirkan ke dunia ini berdasarkan ‘pesanan’, tetapi semua murni dari ketatapan Tuhan. Dari itu yang harus dipikirkan manusia adalah bagaimana ia bisa memberikan yang terbaik bagi orangtua yang telah melahirkan, bukan sebaliknya mengeluhkan keadaan.
Nilai filosofis lain yang bisa manusia ambil dari alam ini adalah kehidupan pohon pisang. Pohon pisang tidak akan mati sebelum ia berbuah, kecuali jika pohon tersebut ditebang atau sengaja dirusaknya. Begitu pula seharusnya kehidupan manusia, dirinya harus berupaya untuk menjadi manusia yang memberikan manfaat bagi kehidupan yang lain di sekitarnya sebelum ajal menjemputnya, tidak hanya untuk sesama manusia tetapi juga untuk segala makhluk yang ada di alam ini.
Dengan memelihara tanaman atau bunga yang sengaja ditanam di pekarangan rumah, menyiramnya dengan air dan memberikan pupuk secara teratur sudah merupakan bukti konkrit bahwa manusia memberikan manfaat bagi sekitarnya, apalagi yang dilakukan lebih dari itu.
Binatangpun juga memiliki nilai filosofis, mungkin setiap manusia pernah mendengar jika ada seorang ayah yang tidak bertanggungjawab atas istri dan anak-anaknya, maka manusia tersebut diibaratkan seperi ayam jantan yang bisanya hanya menyisakan telur dan anak-anaknya untuk ayam betina, dan jika ada seorang ibu yang tidak mau bertanggungjawab atas anak dan suaminya, maka diibaratkan burung puyuh yang mana telurnya dierami dan diasuh oleh puyuh jantan.
Bagi pasangan manusia yang sama-sama bertanggungjawab akan keluarganya sehingga terjalin keharmonisan dalam keluarga, diibaratkan burung merpati yang keduanya bertanggungjawab untuk mengerami telur dan mengasuh anak-anaknya bersama.
Masih banyak hal lain dari alam untuk dijadikan pelajaran yang akan membuat manusia lebih bijak dan bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya. Kapanpun alam siap menjadi tempat belajar dan guru manusia yang tiada pernah berdusta, hanya saja pertanyaannya maukah manusia belajar dari alam? Jawabannya ada pada diri masing-masing manusia.
Sumber : https://analisadaily.com/berita/arsip/2015/5/23/135932/belajar-dari-alam/