LOGO lingsar
Beranda > Artikel > Belajar Dari Alam
Artikel

Belajar dari Alam

Posting oleh lingsarlobar - 1 Juli 2022 - Dilihat 172 kali

“Belajarlah pada alam karena alam adalah guru yang tidak pernah berdusta” Ung­kapan ini mengandung makna yang begitu dalam ka­rena memang sejatinya alam tidak hanya menjadi tempat berlindung manusia, tetapi juga sebagai tempat belajar. Artinya selain bisa menjadi rumah untuk berlindung, sa­habat untuk memenuhi kebu­tuhan, alam juga bisa menja­di guru bagi manusia yang berfikir.

Alam beserta seluruh ba­giannya seperti air, udara, ta­nah, binatang dan tumbuhan adalah suatu anugerah besar dari sang pencipta untuk me­lengkapi kehidupan manusia, dari itu wajib hukumnya bagi setiap manusia untuk senan­tiasa bersyukur. Selain men­jaga kelestarian alam dengan tidak merusak setiap ekosis­tem di dalam­nya, rasa syukur manusia bisa dalam bentuk berfikir, merenungkan, dan menganalisa setiap de­tail makhluk yang ada di alam. Me­lalui pere­nungan inilah ma­nusia akan mengambil pela­jaran untuk kelang­sung­an hidupnya dan akan menja­dikannya manusia yang lebih bijak.

Alam selalu menawarkan hal terbaik bagi manusia, ha­nya saja terkadang manusia apatis terhadap alam, teruta­ma pada zaman modern ini. Manusia cenderung sibuk dengan urusan duniawinya, hing­ga tidak pernah memi­liki waktu untuk sekedar ‘menyapa’ alam yang sejak lahir sudah menyediakan segala keperluan manusia. Padahal jika manusia mau sedikit saja menyi­sakan wak­tunya untuk ‘menyapa’ alam melalui pikirannya, maka alam akan memberikan ilmu yang tidak bisa didapatkan di bangku sekolah atau bangku kuliah, hal inilah yang kemu­dian disebut dengan filosofi alam.

Setiap detail dari alam se­lalu memiliki nilai filosofis, namun nilai-nilai ini tidak akan pernah didapat oleh ma­nusia yang malas untuk ber­fikir, karena setiap nilai fi­lo­sofis suatu makhluk hanya bisa didapat melalui jalan perenungan.

Seperti halnya ketika hu­jan turun, banyak di antara ma­nusia yang bersumpah-serapah karena merasa hujan telah mengganggu atau bah­kan merusak segala rencana aktivitasnya. Padahal hujan da­tang dengan segala keber­kahanNya untuk memenuhi kebutuhan manusia, tidak ha­nya itu hujan datang untuk memberi pelajaran bagi ma­nusia yang berfikir.

Jika kita renungkan lebih dalam lagi, setiap hujan tu­run, sejatinya hujan tidak pernah tau akan jatuh di ma­na. Apakah rintiknya akan jatuh di atas tanah yang ger­sang, di atas dedaunan yang hijau, di atas bunga-bunga yang mekar, di atas ran­ting yang kering, atau bahkan di atas danau yang tiada beriak? Hujan menjatuhkan dirinya begitu saja, menerima segala perintah tuhan, namun di ma­napun hujan jatuh, ia akan memberikan hal terbaik bagi sekelilingnya.

Begitu juga dengan manu­sia, sejatinya tidak pernah ta­hu dan tidak pernah meminta untuk lahir dari orang tua yang bagaimana, apakah dari orang tua yang kaya atau miskin, baik atau buruk, dan berpendidikan atau tidak. Dari itu jika manusia mau mengambil pelajaran dari ja­tuhnya air hujan, manusia ti­dak boleh mengeluh apalagi menyesali dari siapa ia dila­hir­kan karena tidak ada satu­pun manusia yang dilahirkan ke dunia ini berdasarkan ‘pe­sanan’, tetapi semua murni dari ketatapan Tuhan. Dari itu yang harus dipi­kirkan ma­nusia adalah bagaimana ia bisa memberikan yang ter­baik bagi orangtua yang telah melahirkan, bukan sebalik­nya menge­luhkan keadaan.

Nilai filosofis lain yang bisa manusia ambil dari alam ini adalah kehidupan pohon pisang. Pohon pisang tidak akan mati sebelum ia ber­buah, kecuali jika pohon ter­sebut ditebang atau sengaja dirusaknya. Begitu pula se­harusnya kehi­dupan manusia, dirinya harus berupaya untuk menjadi manusia yang mem­berikan manfaat bagi kehi­dupan yang lain di sekitarnya sebelum ajal menjemputnya, tidak hanya untuk sesama manusia tetapi juga untuk se­gala makhluk yang ada di alam ini.

Dengan memelihara ta­naman atau bunga yang se­ngaja ditanam di pekarangan rumah, menyiramnya dengan air dan memberikan pupuk secara teratur sudah meru­pakan bukti konkrit bahwa manusia memberikan man­faat bagi sekitarnya, apalagi yang dilakukan lebih dari itu.

Binatangpun juga memi­liki nilai filosofis, mungkin setiap manusia pernah men­dengar jika ada seorang ayah yang tidak bertanggung­ja­wab atas istri dan anak-anak­nya, maka manusia tersebut diibaratkan seperi ayam jan­tan yang bisanya hanya me­nyisakan telur dan anak-anaknya untuk ayam betina, dan jika ada seorang ibu yang tidak mau bertanggungjawab atas anak dan suaminya, maka diibaratkan burung puyuh yang mana telurnya dierami dan diasuh oleh puyuh jantan.

Bagi pasangan manusia yang sama-sama bertang­gung­jawab akan keluarganya sehingga terjalin keharmo­nisan dalam keluarga, diiba­ratkan burung merpati yang keduanya bertanggungjawab untuk mengerami telur dan mengasuh anak-anaknya ber­sama.

Masih banyak hal lain dari alam untuk dijadikan pela­jaran yang akan membuat manusia lebih bijak dan ber­manfaat bagi sesama dan lingkungannya. Kapanpun alam siap menjadi tempat belajar dan guru manusia yang tiada pernah berdusta, hanya saja pertanyaannya maukah manusia belajar dari alam? Jawabannya ada pada diri masing-masing manusia.

 

Sumber : https://analisadaily.com/berita/arsip/2015/5/23/135932/belajar-dari-alam/